Horee, #31HariMenulis ada lagi!! Semoga kali ini saya nggak ada hari yang bolong nulis seperti tahun lalu. Tahun lalu saya menulis cerita bersambung tentang petualangan Milo dan Ploy. Namun kali ini, saya ingin menulis cerita lepasan, dan karena otak saya hanya lancar jika diajak berkhayal, maka saya akan menulis dongeng. Semoga setelah selesai program ini, akan ada 31 dongeng yang bisa dibukukan. Amiiiin.. hehehehe selamat menikmati dongeng sampai 31 hari ke depan. Ini dia dongeng pertama, jeng jeng jeng...
#31HariMenulis - Day 1 - 1 Mei 2012
PETERNAK TUA DAN SERATUS DOMBANYA
gambar: getty images
Di sebuah desa, tinggallah seorang peternak tua yang hanya hidup bersama istrinya karena mereka tidak dikaruniai anak. Sehari-hari keduanya menghabiskan waktu untuk merawat bayi-bayi domba seperti layaknya anak mereka sendiri. Mereka begitu menyayangi domba-domba ini dan memberikan perawatan terbaik. Karenanya, domba-domba mereka sangat sehat dan bertambah banyak hingga mencapai seratus ekor.
Seorang penyihir kaya di desa itu merasa iri melihat peternak tua memiliki domba-domba sehat dan berjumlah banyak. Sebenarnya, si penyihir mampu membeli domba-domba itu dari peternak tua, tapi dia terlalu kikir untuk kehilangan kepingan-kepingan emas kesayangannya. Suatu hari, si penyihir mendapatkan ide untuk memiliki domba-domba tersebut tanpa harus kehilangan uangnya. Dia menyihir istri peternak tua dan membuatnya sakit-sakitan.
Karena butuh biaya untuk mengobati istrinya yang sakit-sakitan, peternak tua berusaha menjual domba-dombanya kepada si penyihir karena dialah penduduk yang paling kaya di desa itu. Namun, si penyihir yang kikir tidak mau membeli domba-domba itu. Dengan licik dia menawarkan untuk meminjamkan banyak uang dengan syarat domba-domba itu dititipkan kepada si penyihir sebagai jaminan. Selain itu, penyihir juga memberikan bunga hutang yang tinggi. Karena sudah tidak tahu harus mencari uang ke mana lagi, akhirnya peternak tua setuju.
Peternak tua menitipkan seratus ekor dombanya kepada si penyihir dan kembali ke rumah dengan uang emas yang cukup banyak untuk mengobati penyakit istrinya. Penyakit istrinya cukup berat sehingga membutuhkan waktu lama untuk menyembuhkannya. Hal ini membuat hutang peternak tua bertambah banyak karena bunga hutang yang tinggi.
Setelah dua bulan, akhirnya istri peternak tua sembuh. Namun masalah lain justru muncul karena hutang peternak tua menjadi dua kali lipat akibat bunga hutang yang tinggi. Peternak tua tidak memiliki uang untuk membayar bunga hutangnya. Ia hanya memiliki uang untuk membayar sejumlah hutang awalnya saja. Si penyihir pun berpura-pura kasihan dan menawarkan jalan keluar yang licik.
“Kau tidak perlu membayar bunga hutangmu dan aku akan mengembalikan domba-dombamu dengan satu syarat.” kata si penyihir.
“Apa syaratnya?” tanya peternak tua.
“Domba-dombamu akan aku masukkan ke dunia khayalan. Mereka harus melompati pagar setiap kali anak-anak di Kota Mesin menghkayalkan domba sebelum tidur. Seratus dombamu akan kembali ke halamanmu ketika ada anak yang berhasil menghitung hingga seratus domba.” jelas si penyihir.
“Tapi, anak-anak kota mesin tidak pernah mau berhitung, mereka terlalu malas karena mempunyai mesin untuk berhitung.” protes peternak tua.
“Itu masalahmu, kalau tidak ada yang bisa menghitung seratus ekor domba, domba-dombamu akan menjadi milikku.” jawab si penyihir sambil menunjukkan seringai liciknya.
Peternak tua pun pulang dengan sedih dan bingung. Sampai di rumah, dia menceritakan hal ini kepada istrinya. Lalu istrinya tiba-tiba mengusulkan ide cemerlang. Mereka berdua akan pergi ke kota mesin, mendatangi setiap rumah untuk mengajarkan berhitung hingga angka seratus kepada anak-anak di kota itu. Istrinya sangat bersemangat karena selama ini dia sangat ingin menghabiskan waktu bersama anak-anak. Peternak tua pun merasakan hal yang sama dan tanpa pikir panjang dia menyetujui ide istrinya.
Esok harinya mereka berjalan kaki menuju kota mesin. Memasuki perbatasan, mereka takjub dengan keadaan di sana yang jauh berbeda dengan desanya. Di kota itu tidak ada orang yang berjalan kaki, semuanya mengendarai mesin. Toko-toko di sepanjang jalan tidak memiliki penjaga, hanya lemari kaca yang akan mengeluarkan barang yang dibeli setelah uang dimasukkan ke dalam mesin. Benar-benar kemampuan berhitung tak diperlukan lagi di kota ini, pikir peternak tua. Peternak tua dan istrinya terus berjalan hingga memasuki daerah pemukiman dan mulai mengetuk satu per satu pintu setiap rumah di sana.
Hari pertama mereka habiskan dengan mengetuk pintu dan ditertawakan karena ingin mengajarkan cara berhitung, ilmu yang menurut orang-orang kota mesin sudah tidak ada gunanya lagi. Mereka hampir putus asa saat hari mulai petang dan mereka harus pulang ke desa, namun dari belakang seorang anak keluar dari rumah dan mengejar mereka.
“Kakek, nenek, apa itu berhitung?” tanya bocah lelaki itu. “Tadi aku mendengar kakek dan nenek menawarkan kepada mama untuk mengajarkan berhitung kepadaku.”
Dengan senyum merekah, istri peternak tua menjelaskan apa itu berhitung kepada bocah itu. Dia mengeluarkan buah berry satu per satu dari keranjangnya sambil menyebutkan urutan angka-angka untuk mengajarkan cara berhitung.
Ternyata bocah kecil itu sangat cerdas dan bersemangat untuk mecoba berhitung sendiri. Setelah memperhatikan istri peternak tua menghitung buah berry hingga seratus buah, dia meminta untuk mencobanya sendiri. Istri peternak tua dengan senang hati mengijinkannya, bahkan dia memberikan buah berry sesuai dengan angka-angka yang berhasil disebutkan bocah itu. Karena daya ingat yang tinggi, bocah itu berhasil berhitung hingga angka ke seratus dan mendapatkan sekeranjang penuh buah berry. Isinya tepat seratus buah. Anak itu sangat senang.
Sebelum pulang ke desa, peternak tua meminta bocah kecil untuk membayangkan domba-domba yang melompati pagar sebelum dia tidur. Setiap dia menyebutkan angka, satu ekor domba akan melompati pagar. Peternak tua memohon bocah itu untuk menghitung hingga seratus, agar ada seratus domba yang berhasil melompati pagar sehingga domba-domba itu dapat terbebas. Bocah kecil itu dengan senang hari menyanggupi permintaan tolong peternak tua.
Sampai di rumahnya di desa, peternak tua gelisah memandangi halaman tempat domba-dombanya biasa dibiarkan merumput. Hari kian malam dan belum ada satu domba pun yang muncul kembali di halaman itu. Mereka pasti masih terkurung di dalam pagar di dunia khayalan dan bocah kecil itu lupa untuk belajar berhitung sebelum tidur, pikir peternak tua. Dengan sedih, peternak tua menutup jendela dan bersiap untuk membalik badan berjalan ke kamarnya. Namun, sayup-sayup dia mendengar suara domba mengembik.
Peternak tua membuka jendela dan menemukan satu domba muncul begitu saja di halamannya. Berikutnya, satu domba lagi. Satu domba lagi dan begitu seterusnya.
Di halaman si penyihir kaya, domba-domba satu per satu berhasil melompati pagar dan menghilang. Si penyihir yang tengah mengagumi domba-domba ini segera berlari ke bola kristalnya. Di dalam bola kristal, dia melihat bocah kecil di tempat tidurnya, membayangkan domba-domba melompati pagar sembari dia belajar berhitung. Makin lama, hitungannya mendekati angka seratus dan si penyihir tidak bisa berbuat apa-apa selain berteriak-teriak tidak rela dan dengan sedih melihat kepergian domba terakhir dari halamannya.
Karena bocah kecil yang rajin dan mau belajar berhitung itu, seratus domba milik peternak tua dan istrinya kini kembali mejadi milik mereka dan kembali meramaikan halaman rumah kedua orang tua itu.
***
Dongeng ini adalah karya asli Damar Wijayanti yang bisa digunakan atau disebarkan dengan mencantumkan nama penulis dan link blog ini. Terima kasih karena telah menghargai karya dan hak cipta penulis.
bagus... seorang anak yang rajin dan cerdas membantu mengembalikan domba milik kakek dan nenek dari orang jahat.
ReplyDeletesemoga anak indonesia kyk gitu, biar ntar kalo udah gedhe bisa membantu mengembalikan hak-hak milik masyarakat yang dari kapitalisasi yang berlebihan.
Amiin.. terimakasih sudah mampir, tungguin dongeng berikutnya yaa :)
Delete